RESENSI - Tidak Sempurna yang (Menjadi) Sempurna




Sampul depan buku ‘Catatan Musim'. (Sumber: Dokumen Penulis) 


Judul: Catatan Musim
Penulis: Tyas Effendi
Penerbit: Gagas Media
Tahun Terbit: 2012; cetakan 1
Jumlah Halaman: x + 270 hlm; 13 x 19 cm
ISBN: 979-780-471-2


   Jika membaca sinopsis dari buku ini, pembaca seakan dibuat langsung jatuh cinta dengan setiap diksi yang ditorehkan penulis. Yang paling mengena adalah kalimat pada bagian akhirnya, “Musim akan tetap bergulir, dan aku terus menunggumu hadir, meski harus menjemput ke belahan bumi yang lain.” Buku ini bercerita tentang bagaimana seorang gadis dan pemuda yang awalnya sama-sama  menunggu hujan reda di sebuah shelter depan Gereja Katedral Bogor, dengan kesibukan masing-masing tanpa saling bicara. Tya Mahani, tokoh utama yang akrab disapa Tya bisa mengenal seorang pemuda bernama Gema Agasta, -pemuda yang gemar melukis dengan kanvas dan buku sketsa yang selalu ditentengnya ke mana-mana-. Buku yang termasuk dalam genre novel ini dikemas dalam dua sudut pandang. Dari sudut pandang Tya dan Gema. Seperti judulnya, Catatan Musim. Pembaca akan dibawa untuk menjelajah beberapa musim yang dikemas per-bab. Setiap bab musim seakan menggambarkan masing-masing alur cerita yang disajikan secara runtut dan tak biasa. Seperti bagian perkenalan yang bertajuk ‘Penghujung Musim Penghujan', bagian munculnya permasalahan di tajuk ‘Klimaks Musim Kemarau' dan beberapa bab lain yang  bertajuk musim di luar negeri, seperti Musim Gugur, Dingin, Semi dan Panas. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang disuguhkan dengan judul yang menarik dan kaya akan diksi.

   Diceritakan, seakan berjodoh, Tya selalu dipertemukan dengan sosok Gema. Entah sekadar sama-sama menunggu hujan reda di sebuah shelter, di ruang Seni Rupa-kala itu Tya tanpa sengaja menjatuhkan cat minyak milik Gema-. Dan, Tya yang tanpa sengaja datang ke depan pekarangan rumah Gema untuk mengumpulkan bunga-bunga mahoni yang berjatuhan. “Swietenia Mahagoni” begitu ia menyebut pseudoname-nya. Sebuah nama latin untuk pohon mahoni. “Mahoni itu pohon yang ada dalam diriku, Gema,” begitu ungkapnya. Tya meyakini bahwa pohon mahoni hidup dalam dirinya, dan pohon trembesi hidup dalam diri Gema. Pohon trembesi diyakini Tya hidup dalam diri Gema karena sosoknya yang teduh dan memberikan kenyamanan. Namun tidak bagi Gema. Suatu ketika ia dihadapkan pada permasalahan yang membuatnya menyesali sebuah hal kecil. Karena kanker Ca epidermoid yang menjalar di kaki kirinya. Gema harus rela kehilangan bagian bawah kaki kirinya, dan berjalan dengan bantuan kruk seumur hidupnya. Gema merasa sudah tidak sempurna. Ditambah setiap saat ketika kakak perempuan Gema -Gladis- melihat hasil lukisannya  selalu membuat Gladis depresi dan tak segan untuk membakarnya. Alasan itu yang akhirnya membawa Gema untuk memilih belajar seni rupa di luar negeri dan hidup di sebuah kota kecil di Prancis bernama Lille. Sedangkan Tya, yang baru menyadari bahwa ia memiliki perasaan lebih pada Gema seakan merasa terlambat untuk sekadar mengungkapkan.

     Beberapa tahun berlalu bagi Tya yang hidup dalam terkaan perasaan Gema terhadapnya. Hingga ia mendapat kabar baik bahwa beasiswa yang diajukan untuk melanjutkan S2 di Lille akhirnya diterima. Lille menjadi kota kecil yang besar bagi Tya untuk sekadar menemukan Gema. Lille juga menjadi kota bagi Tya untuk pertama kali menyapa musim dingin dan melihat salju. Tya pun masih menjadi penerjemah buku asing seperti di negeri tercinta sebelumnya. Ia hidup dengan baik meskipun sesekali harus home sick dan rindu suasana Kota Hujan-nya. Selain menjadi penerjemah buku asing, Tya pun aktif  bersama komunitas pecinta Ulysses (Ulysses Reading Group). Satu yang belum Tya lakukan, bertemu Gema.

    Namun, seakan berjodoh (lagi) karena kesalahan kurir yang mengantar pesanan cangkir, Tya akhirnya kembali dipertemukan dengan sosok Gema. Butuh pertimbangan yang kuat bagi Gema untuk siap bertemu lagi dengan Tya, lagi – lagi  karena ia merasa dirinya sudah tidak sempurna. Namun bagi Tya, Gema masih sama. Pemuda dengan tatapan mata yang cerdas dan penuh warna. Sejak saat itu, hari-hari di Lille seakan lebih berwarna bagi Tya dan menjalani kehidupan dengan sosok Gema (lagi). Selain pohon mahoni, Tya digambarkan sebagai gadis yang menyukai seduhan teh krisan. Di beberapa bagian, penulis menceritakan bagaimana Tya sering menyeduh teh krisan, baik saat ia dalam kondisi tidak baik maupun sekadar berdiskusi. Tya juga digambarkan gemar mengoleksi cangkir yang dikirim oleh sahabat masa kecilnya saat di Bogor, Agam. Maka tak heran jika sampul buku ini digambarkan dengan beberapa cangkir dengan seduhan teh di dalamnya.

   Hadirnya sosok Agam, seakan menjadi orang ketiga -yang popular sekarang pebikor- dalam hubungan Tya dan Gema, meskipun Agam hadir lebih dulu dalam kehidupan Tya. Agam yang berinisiatif menyusul Tya ke Lille dan mengungkapkan perasaannya di sana berujung pertikaian dengan Gema karena kesalahpahaman. Tanpa sengaja pertikaian tersebut lagi - lagi  berhasil merebut sisi percaya diri Gema. Ia harus rela kehilangan kaki kiri seutuhnya karena sel kanker yang masih terus menjalar. Dengan kondisi semacam itu Gema merasa tak pantas untuk sekadar dicintai. “Jangan menemui aku lagi.” Kalimat terakhir dari Gema itulah yang berhasil menceloskan hati Tya dan merasa harus mengakhiri semuanya. Sejak saat itu Tya tidak menemui Gema atau sebaliknya. Ketika ia berhasil menyelesaikan studinya, tak ada lagi alasan ia untuk tetap tinggal di Lille. Ia cepat-cepat menemui Kota Hujan-nya yang sudah dua musim lamanya ditinggalkan.

    Tya kembali menjadi penerjemah buku asing seperti sebelumnya. Hubungannya dengan Agam pun masih berjalan baik dan sulit meninggalkan kebiasaan bertukar cangkir. Sedangkan Gema? Ia masih hidup dalam negara empat musim dengan segala imajinasi yang ia ciptakan sendiri. Hari-harinya dihabiskan untuk melukis Tya dalam berbagai versi, seperti ketika pertama kali bertemu dan melihat Tya menunggu hujan mereda di bawah sebuah shelter. Keadaan Gema yang seperti itu membuat Sara -seniman sahabat Gema di Lille- merasa harus menyadarkan Gema. Gema tak bisa hidup hanya dalam bayang-bayang benda mati. “You have to go home. Find her! Chase her! She is yours,” begitu perintahnya. Ucapan Sara membuat Gema memutuskan untuk kembali pada negeri tercinta. Tidak, tepatnya pada orang yang ia cinta.

     Shelter, menjadi tempat awal dan akhirnya Gema dipertemukan kembali dengan sosok pohon mahoninya. Dengan gadis yang saat menunggu hujan mereda selalu sibuk menghitung setiap rintik hujan yang turun. Dan menjadi tempat dipertemukan kembali Tya dengan Rain Man-nya. Siapa sangka, shelter menjadi pembuka dan penutup kisah yang manis diceritakan penulis  bagi hubungan Tya dan Gema. Tidak ada lagi rasa ketidaksempurnaan yang selalu menetap dalam diri Gema. Tidak ada lagi sisi rapuh yang hidup dalam diri Tya. Keduanya saling melengkapi, sebagaimana kata-kata Sam Keen yang penulis kutipkan pada bagian awal buku ini, “You come to love not by finding the perfect person, but by seeing an imperfect person perfectly.



(06.2020) ---Pasuruan
-MLU-

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CATATAN - Keresahan yang Semua Orang Pernah. [Usia 25 nih, Bos!]

PUISI - Puisi Milenial (Zaman Sudah Berubah)

PERJALANAN - Ceritaku dan Waduk Klampis Sampang, Madura, Jawa Timur